Bocah di Pekalongan Sempat Kritis Digigit Ular Weling, Ahli Toksilogi Ungkap Kekeliruan Penanganan Pertama Gigitan Ular

JAKARTA, medkomsubang - Dokter spesialis toksikologi di Kementerian Kesehatan, Tri Maharani, mengungkapkan bahwa pemahaman masyarakat mengenai penanganan pertama gigitan ular berbisa masih sangat rendah.

Hal ini berkontribusi pada tingginya angka kematian akibat gigitan ular.

Kasus terbaru terjadi di Pekalongan, Jawa Tengah, di mana seorang bocah berinisial RRS (12) mengalami masa kritis setelah digigit ular weling.

RRS diduga terkena racun neurotoksin.

Tri menekankan bahwa penanganan kasus gigitan ular tidak dapat hanya mengandalkan rumah sakit.

"Edukasi terhadap masyarakat dan tenaga kesehatan menjadi hal yang sangat krusial," ujar Tri dikutip dari TribunJateng.com, Selasa (1/7/2025).

Ia menjelaskan bahwa banyak masyarakat masih menggunakan metode lama yang salah, seperti menyedot luka, mengikat bagian yang tergigit, dan menggunakan ramuan herbal.

"Padahal, tindakan tersebut justru mempercepat penyebaran racun ke seluruh tubuh. First aid yang benar adalah imobilisasi, yaitu membuat bagian tubuh yang tergigit tidak bergerak sama sekali," tegasnya.

Lebih lanjut, Tri menjelaskan bahwa perubahan iklim juga berkontribusi pada meningkatnya konflik antara manusia dan ular.

"Musim hujan di tengah tahun, seharusnya musim kemarau, menyebabkan ular keluar dari habitatnya dan masuk ke lingkungan warga," ucapnya.

Sebagai respons cepat, Kementerian Kesehatan bersama Dinas Kesehatan telah mendistribusikan 19 vial antibisa ular (antivenom) ke RSUD Kajen dan beberapa fasilitas kesehatan lainnya.

Bantuan ini berasal dari berbagai provinsi, termasuk Sulawesi, Bali, DKI Jakarta, serta hibah dari Kemenkes.

Tidak hanya itu, pelatihan untuk tenaga kesehatan juga telah dilakukan agar mereka memahami tatalaksana medis gigitan ular sesuai dengan standar WHO.

"Selama ini, topik ini hanya dibahas sedikit di kurikulum kedokteran maupun keperawatan. Makanya, kami buatkan pedoman resmi dan langsung latih petugas puskesmas dan rumah sakit," jelasnya.

Untuk kasus di Pekalongan, meskipun spesies ular yang menggigit belum dapat dipastikan karena tidak adanya bukti foto atau spesimen, gejala yang muncul mengarah pada efek neurotoksin sistemik, yang umum ditemukan pada jenis ular berbisa tertentu di Indonesia.

"Selain pengobatan, aspek pencegahan juga ditekankan. Jangan tidur di lantai tanpa kelambu, apalagi di daerah yang rawan ular. Kelambu bukan cuma untuk nyamuk, tapi juga mencegah hewan berbisa masuk," ujar Tri.

Dengan kolaborasi lintas sektor dan edukasi berkelanjutan, pihaknya berharap kejadian serupa dapat dicegah di masa depan.

"Warga diimbau untuk segera mencari pertolongan medis jika mengalami gigitan ular dan tidak menggunakan metode tradisional yang tidak teruji," tambahnya.

Diberitakan, RRS, warga Desa Bukur, Kecamatan Bojong, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, selamat dari kondisi kritis setelah digigit ular weling.

Keselamatan nyawa Rafa tak lepas dari kecepatan penanganan medis di RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan, terutama pemberian antivenom jenis neuropolyvalent yang sangat diperlukan dalam kasus seperti ini.

Menurut dr Maria Ulfa, Asisten Manajer Pelayanan Medis RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan, penanganan awal dilakukan secara cepat sesuai protokol kegawatdaruratan.

Tak berhenti di situ, rumah sakit juga segera melakukan konsultasi dengan Tri Maharani, satu-satunya dokter spesialis toksinologi ular berbisa di Indonesia yang kini bertugas di Kementerian Kesehatan RI.

"Dalam konsultasi tersebut, dr Tri Maharani merekomendasikan pemberian antivenom neuropolyvalent, yang secara khusus digunakan untuk mengatasi efek neurotoksik seperti yang ditimbulkan oleh bisa ular weling," ujar dr Maria dalam siaran pers yang diterima Tribunjateng.com, Kamis (26/6/2025).

Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Kasus Gigitan Ular di Kajen Pekalongan, dr Tri Ingatkan Pentingnya Imobilisasi

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama